Minggu, 10 Mei 2009

Sepotong Kenangan Untuk Seulawah RI-001

SEPOTONG KENANGAN UNTUK SEULAWAH RI-001

Oleh: Ratna Sari

“Aneh benar kawan.! Nenek moyangmu sanggup membeli pesawat, tetapi betapa menyedihkan kalau ternyata anak cucunya belum pernah naik pesawat.” Ujar Muna kawanku keheranan. Tetapi otakku justru menemukan sebuah jawaban, meskipun agak berat hati aku menjawabnya “Nenek moyangku lupa meninggalkan warisan karena sudah dipakai untuk membelikan pesawat, tapi leluhurku mewariskan kebaikan hatinya untuk generasi selanjutnya, yaitu suka mendermakan harta bahkan hasil alam yang dimilikinya untuk orang lain, tetapi yang menerima sedekah itu lupa bahwa harta itu bukan sepenuhnya milik mereka.”

Tapi seandainya leluhurku tahu bahwa, hanya karena aku belum pernah naik pesawat lantas aku di ulok-ulok oleh kawanku yang berasal dari Jakarta. Padahal aku tahu kita kaya kan Abu Chiek? Bahkan Aceh dikenal sebagai daerah modal yang menyumbangkan pesawat dan konon aku pernah membaca disebuah buku, yang dulu pernah aku tutup menggunakan koran karena buku itu dilarang peredarannnya di Aceh, dari buku itu aku membaca bahwa ternyata Aceh menyumbangkan 2 pesawat bukan 1 pesawat seperti yang dicatat dibuku sejarah yang aku pelajari ketika SMP. Malahan ada 2 batang emas seberat 50 gram yang akhirnya hilang beritanya. Tapi mengapa sekarang untuk naik pesawat saja cucumu tak punya biaya? Apakah sudah habis dipake untuk modal?

Tapi ya sudahlah Abu Chiek, aku hanya bercanda. Mana mungkin aku marah padamu, meskipun aku tidak bisa menikmati nikmatnya berada dipesawat, tapi aku masih bisa menikmati dan memandang pesawat yang pernah diberikan oleh nenek moyangku dan sekarang dipajang di lapangan Blang Padang.

Tetapi ketika aku menikmati suasana di Blang Padang dan mengajak kawan-kawanku untuk mengenang jasa-jasa nenek moyangku dan betapa bangganya aku menjadi cucu dari kalian, justru aku ditertawakan oleh kawan-kawanku yang katanya sudah “gaul dan elite” hebat betul bahasanya hai Abu Chiek. Mau tahu mereka bilang apa padaku Abu Chiek? “Banda Aceh ini payah, tempat wisata aja kagak ada. Café-café dan mal- mal yang seperti di Jakarta itu mana ada disini. Hari gini masih nongkrong di lapangan Blang Padang? Iiih Norak betul bergaul sama rakyat jelata.” Neu ngin hai Abu Chiek, peu di peugah le ngon lon hana ji teuri le sejarah nanggroe. Hana jie hormati meubacut ke jasa yang ka neubrie ke Negara. (Coba perhatikan Abu Chiek, apa yang dikatakan oleh kawanku tidakkan mereka mengenal sejarah daerah kita. Tidak sedikitpun menghormati jasa-jasa yang yang sudah diberikan kepada Negara).

Kawanku yang sudah kerja di NGO dans udah sering berpergian studi banding keluar kota, menjelajahi propinsi-propinsi yang ada di Indonesia bahkan keluar negeri. Merasa sangat malu dan jatuh harga dirinya ketika aku mengajak menikmati sore yang indah di Blang Padang. “iih makan bakso yang dijual dipinggiran, ga steril banget.” Lihat kawan, pandai betul dia menghina bangsa sendiri.

Lantas aku bertanya pada diriku sendiri mengapa mereka seolah malu dan jatuh harga dirinya jika bertandang dan menghabiskan waktu bersama masyarakat bukankah ini juga seni? Aku memang belum pernah naik pesawat atau pun berkunjung ke kota-kota yang mereka anggap WAH, tapi aku sering membaca dibuku, dimajalah bahkan di televise, bahwa di disana mereka justru melestarikan fenomena seperti ini, kumpul bareng di sebuah tempat dimana ada penjual-penjual keliling yang menjajakan makanan tradisional dan justru tempat itu yang banyak dicari.

Tetapi biarlah mereka kawanku yang sudah terpengaruh dengan budaya asing dan lupa pada endatunya. Meskipun aku sering dipermalukan karena cuma bisa menghabiskan liburanku ditempat ini, namun bukan masalah bagiku. Karena yang lebih memalukan adalah justru jika aku lupa dan tidak pernah mau tahu sejarah tentang daerahku Aceh lon sayang.

Kawan aku punya beberapa informasi sejarah yang akan aku ceritakan kepada kalian, mungkin jika kawan-kawan yang dari luar Aceh yang suatu saat membaca tulisanku ini, moga bisa menjadi bahan referesni sejarah bagi kalian. Atau buat adik-adiku di Aceh agar tahu betapa bangganya jika kalian tahu bahwa kita pernah memiliki sejarah yang tak akan pernah tergantikan.

Tahukah kamu bahwa Pesawat Terbang yang pertama kali dimiliki oleh Negera Republik Indonesia tercinta ini adalah SUMBANGAN DARI RAKYAT ACEH. Pesawat Dakota yang diberi nama Seulawah dengan nomor registrasi RI-001, dan lapangan Blang Padang Banda Aceh tempat dimana pesawat diparkir dan dijadikan sebuah Monumen sebagai bukti betapa besarnya Perjuangan & Pengorbanan Rakyat Aceh atas Kemederdekaan Republik Indonesia.

kamu perhatikan baik-baik ya.

Foto tersebut adalah bagian ekor dari pesawat Seulawah RI-001.

sedangkan yang ini adalah bagian depan pesawat, moncongnya pesawat.

kalau yang ini adalah bagian depan pesawat. Nah foto yang dibawah ini mantap betul tulsannya, coba kamu perhatikan ya.

Coba perhatikan tulisan yang terdapat pada pesawat, PERSEMBAHAN RA’JAT ACEH.

Jadi sejarahnya adalah Dakota RI-001 Seulawah adalah pesawat angkut pertama milik Republik Indonesia yang dibeli dari uang sumbangan rakyat Aceh. Pesawat Dakota RI-001 Seulawah ini adalah cikal bakal berdirinya perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways. Pesawat ini sangat besar jasanya dalam perjuangan awal pembentukan Negara Indonesia.

Pesawat Dakota DC-3 Seulawah ini memiliki panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28.96 meter, ditenagai dua mesin Pratt & Whitney berbobot 8.030 kg serta mampu terbang dengan kecepatan maksimum 346 km/jam.

KSAU Komodor Udara Suryadarma memprakarsai pembelian pesawat angkut. Biro Rencana dan Propaganda TNI-AU yang dipimpin oleh OU II Wiweko Supono dan dibantu oleh OMU II Nurtanio Pringgoadisuryo dipercaya sebagai pelaksana ide tersebut.
Biro tersebut kemudian menyiapkan sekira 25 model pesawat Dakota. Kemudian, Kepala Biro Propaganda TNI AU, OMU I J. Salatun ditugaskan mengikuti Presiden Soekarno ke Sumatra dalam rangkaian acara mencari dana ke Aceh.

Nah kalau kamu pernah melewati persimpangan yang menghubungkan jalan Abu Lam U yang berada dekat taman sari, persisnya disamping mesjid raya Baiturrahman jalan Mohammad Jam. Disitu telah dibangun sebuah tugu untuk mengenang bahwa Presiden Soekarno pernah berpidato disitu tepatnya pada tanggal 16 Juni 1948 di Hotel Kutaraja, Presiden Soekarno berhasil membangkitkan patriotisme rakyat Aceh. Melalui sebuah kepanitiaan yang diketuai Djuned Yusuf dan Said Muhammad Alhabsji berhasil dikumpulkan sumbangan dari rakyat Aceh setara nilainya dengan 20 kg emas.


Dana tersebut kemudian digunakan untuk membeli sebuah pesawat Dakota dan menjadi pesawat angkut pertama yang dimiliki bangsa Indonesia.

Pesawat Dakota sumbangan dari rakyat Aceh itu kemudian diberi nama Dakota RI-001 Seulawah. Seulawah sendiri di dalam bahasa aceh berarti gunung emas.
Kehadiran Dakota RI-001 Seulawah mendorong dibukanya jalur penerbangan Jawa-Sumatra, bahkan hingga ke luar negeri. Pada bulan November 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatra dengan rute Maguwo-Jambi-Payakumbuh-Kutaraja-Payakumbuh-Maguwo.

Pada awal Desember 1948 pesawat Dakota RI-001 Seulawah bertolak dari Lanud Maguwo-Kutaraja dan pada tanggal 6 Desember 1948 bertolak menuju Kalkuta, India. Pesawat diawaki Kapten Pilot J. Maupin, Kopilot OU III Sutardjo Sigit, juru radio Adisumarmo, dan juru mesin Caesselberry. Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Dakota RI-001 Seulawah tidak bisa kembali ke tanah air. Atas prakarsa Wiweko Supono, dengan modal Dakota RI-001 Seulawah itulah, maka didirikanlah perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways, dengan kantor di Birma.

Karena jasanya yang sangat besar bagi perjuangan Indonesia maka pada tanggal 30 Juli 1984, Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani pun meresmikan monumen yang terletak di lapangan Blang Padang. Namun, sangat disayang karena pesawat Seulawah hanya dibiarkan ditempat terbuka. Sangat disayangkan jika perlakuan yang diberikan kepada pesawat itu sangat tidak layak. Padahal sudah banyak sejarah yang telah Ia torehkan, ratusan peritiwa telah ia rekam dalam memorinya bahkan seandainya ia bisa menulis buku mungkin kita bisa bertanya kepadanya akan kebenaran sejarah yang telah ia lalui. Bahkan Seulawah mencatat dalam ingatannya ketika perustutan Proklamasi RI tanggal 17

Agustus 2007 ketika Irwandi Yusuf mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kemudian menjadi gubernur dalam pemilihan kepala daerah Aceh, 11 Desember 2006 lalu. Sesuai protokoler, gubernur Aceh adalah insperktur upacara di Blang Padang.

Mantan petinggi GAM itu diabadikan saat menghormat bendera, saat damai telah dua tahun. Bahkan SEULAWAH juga mencatat ketika upacara proklamasi pukul 10.00 Irwandi grogi dan sempat dalam memberikan hormat. Tangannya keburu naik ketika aba-aba selesai, bersamaan dengan yang lain. Kemudian diturunkan lagi dalam hitungan detik. Baru kemudian dinaikkan lagi, setelah yang lain memberi hormat. Setelah tangannya turun lagi, baru komandan memberikan aba-aba selesai, “Tegaaaaaaakkkk grak.” Entah bagaimana perasaan Seulawah saat itu, coba ada yang mengabadikan raut muka Seulawah pada saat moment penting itu terjadi.

Bahkan Seulawah juga tidak bisa mengucapkan apa-apa ketika putra-putri Aceh mulai mempertanyakan keaslian sejarah Seulawah RI-001 ketika anak negeri mulai menyingkapi sejarah yang sudah lama terkubur mempertanyakan kebenaran tentang pembelian obligasi (surat utang) yang dikeluarkan oleh Sukarno di Aceh,dimana dari hasil penjualan surat utang atau obligasi itu dipakai untuk membeli pesawat Dakota yang diberi nama Seulawah dengan nomor registrasi RI-001. Seulawah ingin bercerita banyak agar bisa membantu generasi yang peduli pada sejarah bangsa yang saat ini terus berjuang untuk menelusuri tentang asal-usul pesawat Dakota Seulawah ini, yang pertama sekali perlu dipertanyakan yaitu apakah dana yang terkumpul dalam Fonds Dakota adalah dana hasil dari penjualan obligasi ataukah hasil sumbangan dari bangsa dan rakyat Aceh?

Tetapi itu semuanya hanya mampu disimpan Seulawah dalam kenangannya. Tanpa ada yang mau peduli terhadap kondisinya. Lihat saja kondisi pesawat yang tidak terurus. Hal ini jelas berbanding terbalik dengan sebsai monument yang dibangun untuk mengenang Tsunami, sebuah gedung besar yang menghabiskan milyaran rupiah, dengan desaian yang sangat elegan dari tukang insyiur dari ITB. Seandainya Seulawah RI-001 bisa ngomong mungkin ia akan berujar “apakah ia tidak mendapatkan tempat dihati bangsanya?”.

Monument pesawat RI Seulawah 01 masih tetap bertengger di landasannya, pada sebuah tugu di Blang Padang. Bukti, Aceh adalah sejarah Indonesia dari dulu. Ya hanya sebuah sejarah.

Tidak ada komentar: