Minggu, 10 Mei 2009

Bagaimanapun Menjadi Saksi Sejarah Perang itu tidak ada Enaknya

Bagaimanapun menjadi saksi sejarah perang itu tidak ada enaknya

Oleh: Ratna Sari

Banda Aceh di mataku begitu mempesona. Meskipun siang ini cahaya matahari yang kuning keemasan seolah-olah memanggang atap-atap rumah, dan gedung-gedung dan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang di jalan. Pohon-pohon asam yang berjejeran yang ditaman kota tak mampu memberikan keteduhan, malahan berganti profesi sebagai penyambut tamu. Lihat saja ketika dahan-dahan pohon berkolaborasi bersama daun-daun ditambah angin yang menjadi sang dirigen membentuk sebuah Orkestra.

Sebuah suara dari bocah kecil memecahkan suasana. “Matahari di Banda Aceh ada 8 ya? Tapi di film NACA katanya matahari cuma tinggal 1 saja, yang 7 lagi sudah dimakan oleh dewa matahari.” Kontan penumpang yang ada dilabi-labi tertawa mendengar ocehan Loloy anak kecil yang berusia 8tahun. Dia baru beberapa hari disini biasanya Loloy tidak pernah mau aku ajak ke Banda Aceh. Loloy punya alasan tersendiri dan aku akan menceritakannya nanti karena kalau aku cerita sekarang bakal panjang. Lagipula kurang menarik belum apa-apa sudah masuk bagian klimaks cerita. Oya film NACA adalah film kartun anak-anak dari Negara Jepang. Jadi dalam film tersebut diceritakan kalau suatu hari dewa marah dan mengikat kedelapan matahari. Makannya kalau suasana siang terasa dingin dan mendung, itu artinya matahari sedang diikat oleh dewa. Meskipun itu sebuah legenda tetapi, itulah yang terekam dipikirannya. Karena semua film yang pernah dia tonton berkorelasi dengan kehidupan yang pernah Loloy alami ketika usianya masih sangat balita bahkan Ia sudah terbiasa melihat senjata dan bunyi ledakan bahkan berbarengan ketika ia sedang menonton di televisi.

Pertanyaan yang menggelitik kembali keluar dari mulut kecilnya yang tak pernah berhenti berceloteh “bapak-bapak itu berantem ya? Kenapa ada kakek yang menjabatkan tangan bapak itu? Tapi kakeknya kok lebih putih? Pasti dari luarnegeri ya? Mereka pasti baru kena hukuman dari kepala sekolah ya?”. Raut muka Loloy begitu penasaran takkala kami melewati jalan di Simpang Surabaya, tepat ketika kami berhenti saat lampu merah menyala sebagai tanda berhenti. Aku tidak habis pikir apa yang ada dibenak bocah kecil ini, apalagi ketika dia terus berceloteh dan menghitung jumlah orang-orang yang berdiri menyaksikan 2 bapak yang sedang berjabat tangan ditemani oleh seorang kakek yang lebih mirip orang asing baginya. “pasti mereka bandel ya? Makanya dikasih hukuman lalu difoto dan ditaroh ditempat yang paling tinggi fotonya biar ga berantem lagi kan?”. Pesan moral yang dia ambil adalah, “Ketika anak-anak kecil berantem yang akan meleraikannya adalah kepala sekolah. Tetapi kalau bapak-bapak yang berantem, karena mereka tidak sekolah dan pake seragam, yang akan meleraikan mereka adalah kakek dari luarnegeri, karena bapak-bapak itu tidak punya kepala sekolah seperti anak SD seusianya.”

Mungkin pada mulanya kita akan beranggapan wajar bila anak kecil seusia Loloy akan menanyakan hal yang seperti itu, tapi anggapan itu berubah karena aku perhatikan dia tidak terlalu tertarik dengan foto-foto yang banyak terpampang disepanjang kota Banda Aceh.

Selidik punya selidik dari ibunya aku baru tahu bahwa dampak dari konflik yang selama ini Loloy rasakan setiap episode membuatnya sangat sensitif. Ibunya baru menyadari “kejanggalan” yang terjadi pada putranya ketika Loloy rebut dengan adiknya. Permasalahannya sederhana sekali, rebutan remote TV dengan adik perempuannya. Mungkin itu hal biasa yang dilakukan oleh anak kecil, tetapi yang mengejutkan ibunya justru ketika Loloy menangis histeris meminta agar ibunya membela dirinya. Ia memohon agar ibunya memindahkan channel saluran TV, sedangkan Naisha adiknya ngotot nonton film itu. Akhirnya si ibu penasaran film apa yang membuat anaknya ketakutan setengah mati.

Sebuah film yang mengisahkan tentang perperangan di Korea yang diperankan oleh Jimmy Ling, yang kemudian tewas dalam peperangan meninggalkan seorang adik perempuannya. Ternyata tanpa sepengetahuan ibunya, Loloy pernah menonton film itu jadi dia sudah tahu jalan cerita film itu dan membuatnya sangat trauma. Sehingga ketika adiknya yang masih berusia 4 tahun itu, begitu kegirangan melihat adegan tembak-tembakan tanpa tahu apa artinya apa, di sisi lain Loloy yang sudah sangat “kenyang” dengan suasana perang justru merasa itu adalah hal yang sangat mengerikan. Peperangan telah meninggalkan sebuah luka yang sangat membekas dihatinya. Tidak ada yang pernah menyangka jika semuanya akan berakibat sedemikian fatal bagi kehidupannya yang masih sangat belia. Loloy telah mengalami hal itu, dan trauma itu masih membekas hingga sekarang. Wajar jika ia akan berteriak histeris ketika melihat adegan perang ditelevisi, bahkan sebuah film yang menceritakan tentang seekor monyet yang dijadikan binatang sirkus, telah membuatnya menangis. Bukan tangisan ketakutan biasa, namun ibunya pernah memergokinya terisak-isak sepertinya ia menyimpan luka yang dalam. Sebuah pertanyaan yang membuat ibunya tersentak, takkala loloy bertanya “Mengapa tanggal bulan Agustus menjadi bulan yang membawa kesedihan dan airmata, tidak hanya bagi loloy tapi juga dunia. Mengapa Bom yang dijatuhkan sekutu di kota Horoshima dan Nagasaki juga terjadi pada bulan Agustus?”

Loloy yang mempunyai nama lengkap Fadlurrahman terlahir pada tahun 2001 tepatnya tanggal 16 Agustus 1 hari menjelang hari kemerdekaan RI. Suasana saat itu sungguh sangat mencekam, bagaimana tidak saat-saat itu adalah tahun yang paling mendebarkan. Semua sudah tahu bahwa tahun 2001 merupakan tahun yang trend dengan istilah “MOGOK”. Kalau istilah anak kecil mogok sama artinya dengan ngambek karena keinginannya tidak dipenuhi oleh orang tuanya. Loloy tidak pernah menyangka bahwa garis tangan telah tergambar bahwa ia akan terlahir disebuah desa yang terletak dibawah kaki bukit, desa Ulee Gle kecamatan makmur Bireuen. Seperti biasa menjelang peringatan 17 Agustus, masyarakat sudah paham paham diseluruh antero Aceh sudah terbiasa dengan suasana jalan yang ditimpuki dengan batu batu besar, pohon yang ditebang ketika malam hari yang keesokan harinya sudah tergeletak dengan manisnya dijalan raya. Masyarakat akan belanja sebanyak-banyaknya untuk persiapan selama 1 minggu lebih, karena pasar tidak boleh beraktivitas.

Sang bayi merasa enggan untuk keluar dari rahim ibunya, karena ia tahu betapa tidak menyenangkan keluar dari rahim ibu, apalagi ketika baru membuka matanya menikmati suasana di dunia, bayi merah itu langsung dikejutkan dengan bunyi dentuman peluru, ucapan selamat datang kedunia. Siang itu terjadi keributan, karena Ulee Gle terkenal sebagai desa bersih yang tidak mau berkompromi dengan pihak separatis. Meskipun desa ini dikelilingi oleh desa-desa yang mendukung ide “misah” dari Negara kesatuan Republik Indonesia, namun desa Ulee Gle ini malah satu-satunya yang tetap setia kepada negara. Hal ini lah yang membuat desa ini mendapat simpati dari pihak TNI, namun disisi lain petinggi-petinggi GAM dari daerah lain justru”gemas” dan sering mengutuskan murid-muridnya ke desa ini, tentunya dengan memantau dari desa tetangga yang mengapit desa ini.

Seperti hari itu, tanggal 16 Agustus pihak GAM sudah melarang agar masyarakat tidak boleh melaksanakan upacara 17 Agustus, namun siswa-siswa dari berbagai sekolah berkumpul didesa itu yang merupakan kecamatan dari desa yang lain. PNS, TNI dan masyarakat melakukan gladi resik, namun ketika bendera duplikat baru dinaikkan setengah tiang, tiba-tiba dari sebuah bukit terdengar tembakan dan membuat kekacauan. Masyarakat pontang-panting berlari mencari tempat berlindung yang aman. Bunyi tembakan belum mau berhenti, namun hal itu tidak membuat masyarakat kapok. Berbagai atraksi penyelamatan dilakukan, ada yang berguling-guling ada juga yang merangkak mencari tempat yang dekat dengan bak ngom (rumput tinggi yang biasa digunakan untuk membuat tikar, selain daun pohon pandan duri). Kejadian penyerangan dari GAM semakin membuat masyarakat melah menjadi benci kepada mereka. Banyak yang tidak habis pikir mengapa desa Ulee Gle begitu keras kepala tetap mencintai tanah air. Ternyata para pejuang 45 dan tokoh-tokoh penting banyak yang berasal dari desa itu, jadi mereka sudah tahu betapa susahnyamerebut Indonesia dari Kompeni Belanda. Selain itu banyak pelajar-pelajar yang telah berhasil berasal dari desa ini, jadi tingkat pendidikan mereka lebih unggul dari desa-desa lain yang mengapitnya.

Tangisan bayi yang lahir pada pukul 11.45 WIB bukan hanya mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin berpisah dengan rahim ibunya, tetapi ia menangis melihat negerinya yang setiap hari berantam, sebuah ungkapan yang kelak selalu ia gunakan jika ada orang yang rebut, sama halnya ketika ia melihat baliho foto Mr. Matti yang menggemgam erat tangan 2 pihak yang bertikai yang berasal dari 1 negara yang sama.

Hari-hari selanjutnya bayi merah itu sudah terbiasa dalam suasana perang. Namun, diulang tahunnya yang pertama, Loloy kembali mendapatkan hadiah yang paling berkesan selama hidupnya. Sore itu terjadi baku tembak antara 2 kubu, TNI Vs GAM. Sore itu masyarakat sedang gotongroyong membersihkan jalan, mengecat pagar dengan warna merah putih, ungkapan gembira menyambut hari proklamasi. Kejadian 1 tahun lalu ternyata tidak membuat masayarakat kapok, justru mereka lebih bersemangat. Serangan yang tiba-tiba membuat masyarakat tidak siap, tak sempat mencari tempat berlindung. Berbekal pengetahuan dari buku sejarah dan cerita dari tokoh-tokoh pejuang, sekali lagi mereka mempraktekkan ilmu yang telah diwariskan “jika ada suara tembakan dan pesan moral yang harus kalian ingat adalah tiarap dan cari merangkak keparit benamkan kepala jika ingin selamat”.

Perseh lagee prang thon 45, singoh merdeka uroe nyoe ta meuprang ngen Jepang, ka tuha lage nyoe mantong ji peu laku hana adab meu bacut. Geu yue jak sikula manyat na ilme, mangat na adab ke ureung tuha. Tingoh ku peu gleh lueng, ka peu laku ke lage nyoe. ka peu jra ureng chiek ka peu eh lam lueng. (mirip seperti perang tahun 1945, besok merdeka hari ini kita berperang dengan Jepang, sudah tua seperti ini namun diperlakukan secara tidak beradab sedikitpun. Makanya disuruh sekolah agar mendapat ilmu, agar tahu cara menghormati orang tua. Saya sedang membersihkan parit, kamu kerjain seperti ini, membuat orang tua menderita dengan membuat kami tidur diparit). Ujar seorang kakek menyumpahi aksi penyerangan disore itu. Serangan itu tidak bisa menahankan masyarakat untuk tidak menyisipkan sejumlah lelucon hampir dalam semua kisah-kisahnya. “karap ie tue biet iek ku bak kupreh pirang prang bak uroe nyan. Meunyoe jadeh teubit leuh nyan keunoeng timbak, nyan ka dosa lon hana kue reum poek rah.” (hamper keluar kencing saat menunggu kapan perang akan reda saat itu. Jika saat itu saya jadi keluar kencing lantas kemudian kena tembakan, bisa berdosa saya karena tidak sempat membersihkan dengan air). Tentu saja cerita yang bisa membuat lelucon itu bisa membuat kita yang mendengarnya akan tergelak tawa. Tapi siapapun akan tahu diri betapa mahalnya harga setiap tawa yang tertuang. Sebab lelucon ini adalah lelucon yang paling menyakitkan yang menghiasi dan selalu hadir dizaman perang disaat negara sudah merdeka lebih dari 60 tahun yang lalu dan betapa pahit kisah itu.

Serangan sore itu mungkin hampir sama dengan serangan fajar 11 Maret yang di pimpin oleh Soeharto, jadi kalau serangan ini dinamakan serangan sore. Mantap juga ya!.

Ya sangat mantap karena mereka yang membuat keonaran tidak tahu apa yangterjadi dengan seorang bocah berusia 1 tahun yang terperangkap didalam kamar disebuah sudut, tangisan yang memanggil ibunya mengisyaratkan betapa ia memerlukan dekapan sang ibu, ingin rasanya dia kembali kerahim ibunya. Karena disana tidak ada perang. Entah apa yang ada didalam pikiran anak sekecil itu. Ia mungkin heran mengapa sore ini hujan terasa aneh, hujan sore ini begitu menyentakkan telinga, setiap tetes hujan yang jatuh jutru menimbulkan kebisingan dari seng-seng rumah. Ibu dunia ini sangat aneh.

Tetapi apa hendak dikata, hujan peluru tak mau berhenti sedetikpun. Sang ibu bersusah payah merangkak menghindar dari peluru, salah-salah bergerak akan terkena peluru nyasar. Menyesal betul hati sang Ibu, karena tak bisa melindungi anaknya. Tadi setelah menidurkan anaknya, ia turun sebentar kedapur hendak menyuci piring. Dan kini ia terperangkap diseuramo bawah. Sedangkan untuk melindungi anaknya, Ia harus menaiki tangga. Rumahnya yang berbentuk rumah panggung Aceh dan disambung dengan rumah sejajar tanah, membuatnya sangat kesulitan untuk merangkak, apalagi jarak antara dapur dengan rumah panggung dipisahkan oleh jarak dan ruangan terbuka. Teriris-iris hatinya mendengar anaknya menangis, mukanya semakin pucat takkala suara tangisan sianak berhenti.

Cinta ibu kepada anak telah tercatat dalam tinta emas didalam sejarah, bahkan Al-Quran sangat memuliakan sang ibu. Nabi Muhammad mengucapkan ibu ibu ibu ketika sahabat menanyakan siapa yang harus dihormati oleh sang anak.

Tangisan sianak yang tiba-tiba terhenti, membuat ibunya tak peduli lagi pada peluru yang terus saja dikeluarkan dari moncong senjata. Ia terus merangkak dan ketika sudah sampai didekat tangga, ia langsung berlari kekamarnya menemui anaknya. Ia panik bukan kepalang saat melihat Loloy sudah tidak ada lagi diatas tempat tidur, hatinya hancur berkeping-keping. Putra pertamanya tidak ada dikamar. Ia berteriak menangis meraung-raung tak dapat menahan rasa. Tubuhnya yang kurus terhempas dilantai tak kuasa menahan kesedihannya.

Ma ma mak sebuah suara lirih mengejutkannya, siibu berusaha mencari dari mana asal suara itu. Dari sebuah sudut ia melihat ada kain batik terjulur dari balik lemari disamping tidur. Wajah ibu yang tadi telah pucat pasi, terkulai lemah tak berdaya, kini bagaikan seorang kafilah yang sedang berada dipadang pasir yang menemukan oase. Hatinya girang tak terperi, mengucapkan syukur pada Allah. Saat mendapatkan buah hatinya yang memeluk bantal guling dan kain sarung batik sebagai selimutnya. Sebuah senyum menghiasi bibir mungilnya, karena pahlawan yang diharapkan telah hadir. Meskipun mukanya pucat menahan rasa takut, sebuah hal yang seharusnya tidak dialami oleh anak sekecil itu.

Entah sebuah keberuntungan atau sesuatu yang terjadi pasti karena sebuah alas an? Entahlah, yang jelas Loloy merasa sangat senang karena rumahnya bersampingan dengan mesjid, didepan rumahnya sekolah MIN dan MTsN, sedangkan dari sebelah kiri depan ada sebuah sekolah taman kanak-kanak (TK). Selang 3 rumah kantor BRIMOB yang bersebalahan dengan kantor Danramil dan juga asrama TNI. Lingkungan tersebut kelak akan sangat mempengaruhi warna episode-episode kehidupannya.

Ternyata episode yang terjadi sore itu belum juga berakhir, 3 bulan berselang tepatnya hari jumat ketika azan pertama baru dilantunkkan sebuah dentuman memecahkan kekusyukan jamaah yang sedang bersiap-siap untuk salat jumat. Membuat Bilal mesjid tergagap tak dapat melanjutkan lantunan azan. Loloy paling suka mendegarkan pengajian yang sering dia dengar dari mesjid yang sering dilantunkan menjelang azan. Akan tetapi siang itu dia begitu terkejut, aneh betul pelajaran moral hari ini. Saban hari yang Ia tahu sebelum azan biasanya akan terdengar suara merdu dari qari yang membaca Ayat-ayat suci Al-Quran kemudian bilal mengumandangkan azan untuk pertanda waktu salat telah tiba mengajak seluruh kaum muslim untuk salat. Tetapi siang ini mengapa ada tradisi baru? Azan hanya baru dimulai tapi kemudian dilanjutkan dengan dentuman BOM dan serbuan hujan peluru.

Serangan kali ini lebih dasyat, malahan tembakan yang mengenai pohon kelapa menyebabkan buahnya jatuh satu persatu, bahkan ada pohon yang patah. Entah jenis senjata apa yang mereka gunakan. peluru-peluru dengan sengaja ditembakkan kerumah penduduk, karena itu tak heran banyak peluru yang bersarang ditembok rumah. Bahkan di satu peluru tepat jatuh diatas tempat tidur Loloy padahal kamarnya terletak diatas, sebuah rumah panggung khas Aceh. Tembakan berasal dari sebuah bukit jadi dengan gampang mereka bisa menyerbu masyarakat.

Alhamdulillah saat itu, loloy berada didapur bersama ibu dan makciknya. Suara dentuman yang memekakkan telinga, sudah mulai terbiasa bagi psikologis Loloy. Tak ada tangisan lagi karena sudah habis airmatanya menghadapi tingkah polah suku sendiri. Loloy hanya pasrah ketika ibunya memeluknya dan bersembunyi dibawah dapur yang berbentuk tembok, yang biasa digunakan untuk memasak. Sedangkan bagian bawah untuk menyimpan kayu bakar. Entah apa yang kemudian tebentuk dipikiran anak sekecil itu, selama 2 jam Loloy dan ibunya merangkak bersembunyi disitu, sedangkan diatasnya sebuah panci berisi air sedang dimasak dan apinya belum sempat dimatikan.

Dapur yang dimaksud adalah, biasanya masyarakat menyebutkan Dhapu untuk tempat memasak. Meskipun mereka sudah menggunakan kompor, namun jika memasak air atau nasi, biasanya tidak mengunakan kompor karena untuk menghemat bahan bakar minyak lampu. Jadi mereka membuat sebuah tempat biasanya terbuat dari beton dengan 2 sekat bagian atas untuk memasak, sedangkan sekat bawah dibuat lebih lebar karena berfungsi untuk menyimpan kayu bakar atau memanggang ikan dibawah karena lantainya dibiarkan tanpa disemen. Biasanya kalau malam kucing memilih tidur disekat bagian bawah karena lebih hangat.

Sedangkan suasana dimesjid mereka hanya pasrah, kaum lelaki semuanya telah berkumpul disana karena menunaikan kewajiban salat jumat, dan momentum ini benar-benar dimanfaatkan oleh mereka untuk menyerang masyarakat.

Kurang ajar betul entah kemana etika berfikir manusia, orang lagi salat mau dibunuh. Apa mereka tidak menghormati agama Islam? Apa juga misi perjuangan mereka untuk menegakkan syariat Islam di bumi Aceh. Dimana otak, akal dan hati nurani mereka.

Masyarakat sangat marah, apalagi serangan ini hanya dituju untuk desa Ulee Gle saja, dengan alasan karena desa ini pro NKRI, jadi harus dikasih pelajaran dan dimusnahkan.

Bahkan yang lebih menyakitkan adalah ketika penduduk desa tetangga mulai dari desa yang pertama dijumpai dikecamatan makmur hingga ujung malah menyambut senang, berpesta pora dengan ungkapan yang menyakitkan hati. “ka digom gampong Ulee Gle, ka punah awak nyan, beu jra beu jirasa, pajoh cok lieh.” (sudah dimusnahkan kampong Ulee Gle, sudah punah mereka, biar tahu rasa. Makan tu jilat). Ternyata serangan yang maha dasyat siang itu, telah direncanakan dan desa-desa tetangga sudah mengetahui proses scenario penyerangan itu. Lebih parah lagi, setelah mereka puas dengan serangan itu, dengan nada mengejek mereka sengaja datang mengunjungi desa Ulee gle dan mengeluarkan kata-kata makian.

Alasan pemilihan waktu salat jumat, karena TNI dan Brimob biasanya sering salat jumat berjamaah, karena itu mereka memanfaatkan kesempatan itu. Karena ketika salat banyak diantara mereka yang jarang membawa senjata. Di Aceh terkenal dan sudah menjadi hal yang biasa ketika TNI terbunuh ketika baru pulang dari mesjid.

Kejadian tersebut sangat membekas dimasyarakat, tak terkecuali Loloy. Dapatkah sebuah kematian orang tercinta membelokkan jalan kehidupan seorang Loloy?. Tentu saja. Deretan peristiwa telah mempengaruhi mentalnya. Bahkan Ia sudah bisa membedakan mana suara petasan dan suara BOM. Tetapi jiwanya sangat tergoncang, ketika Ia harus kehilangan sahabatnya ketika ia berusia 4 tahun.

Kala itu rumah Loloy yang berada dekat dengan kantor TNI dan kantor Brimob membuat mereka sering kerumah, apalagi ketika ada gotongroyong dimesjid biasanya mereka akan jaga-jaga disamping, belakang dan disetiap sudut rumah. Yang lebih parah lagi, setiap pergantian pasukan mereka lebih sering memilih transit dirumah. Tidak ada anak gadis disitu, jika mungkin akan ada penilaian biasanya tentara singgah karena ada perempuan cantik. Bukan, bukan itu alasannya. Tetapi karena pemilik rumah itu adalah Almarhum kakek yang terkenal sebagai ulama paling disegani dan pejuang yang ikut melawan Belanda, malahan ayahnya termasuk pendiri desa Ulee Gle. Selain itu rumah itu satu-satunya yang masih original bernuansa Aceh. Pohon-pohon kelapa, mangga, sawo, jambu yang banyak terdapat disekeliling rumah membuat mereka santai dan menikmatinya. Selain itu dekat dengan mesjid, sehingga ketika team akan berganti dengan batalyon yang lain mereka akan menginformasikan hal ini sehingga mereka lebih nyaman ketika berada disitu,apalagi halaman yang sangat luas tidak membuat penghuni rumah tergangu dengan kedatangan mereka.

Hal ini tentu saja memberi pengaruh yang sangat besar terhadap Loloy. Ada satu hal yang membuat mereka “menjaga” keluarga Loloy, yaitu karena mereka sangat menyayangi Loloy. Ada hal yang membuat mereka aneh, dan pertanyaan itu berulang kali ditanyakan pada ibunya Loloy. Mengapa Loloy ketika berbicara tidak mirip logat Aceh, kala anak-anak lain berbicara menggunakan bahasa aceh, Loloy malah lebih fasih menggunakan bahasa Indonesia. Anak ini lebih agresif dan kreatif dan pintar, karena itu loloy lebih disukai ketimbang anak-anak yang lain. Penampilan loloy yang selalu bersih dan kritis meskipun usianya baru 3 tahun membuat mereka akrab dengan Loloy.

Keakraban yang terjalin antara Loloy dengan mereka menciptakan hubungan batin. Disinilah awal mulanya mengapa dipanggil Loloy. Nama fadlurrahman, namun diplesetin sendiri olehnya. Sehingga ketika ada yang menanyakan siapa namanya, ia akan menjawab Loloy. Sejak saat itulah Loloy menjadi panggilan akrab hingga sekarang.

Semuanya sangat menyayangi Loloy, namun ada 1 orang yang sangat berkesan dihati Loloy. Namanya Anto, entah apa yang membuat Loloy sangat sayang dengan Anto. Pernah suatu malam Loloy panas tinggi, yang lebih aneh Loloy memanggil Anto dalam ngigaunya, dan hal ini justru membuat ayahnya marah. Apalagi sebelumnya ayahnya juga kurang suka dengan tentara yang sering kerumah, meskipun ayahnya PNS namun dia agak-agak membela GAM dan sikapnya dan tutur bahasa yang kurang enak terhadap Anto, membuat Ia tidak berani bertandang kerumah. Namun, malam itu karena Loloy terus memanggil nama Anto, mau tidak mau pihak keluarga memutuskan untuk mencari Anto dan memintanya untuk menggendong Loloy. Ajaib memang setelah bertemu Anto Loloy langsung sembuh, hal ini semakin membuat ayahnya tambah kesal hihihi.

Anto tidak lama berada di Aceh, karena akhirnya dia ditarik keJakarta. Sejak saat itu Loloy belajar bahwa ia telah kehilangan sahabat yang paling dia sayang. Tak ada lagi yang membelikannya coklat, ataupun memainkan gitar ketika sore. Hanya mereka berdua, Loloy dan Anto. Perpisahan itu cukup membekas dihati loloy.

Kejadian yang sama terjadi lagi 6 bulan kemudian. Seperti biasa tentara akan singgah dirumah, biasanya mereka akan membuat tenda-tenda dirumah masyarakat. Tapi kali ini tidak hanya dirumah Loloy tapi hampir disemua rumah penduduk radius 15 meter dari kantor Danramil.

Akhirnya, Loloy menemukan sahabat terbarunya. Seorang Danki, komandan kompi Edo namanya. Kehadirannya cukup membuat Loloy bisa mengurangi kesedihannya berpisah dengan Anto. Faktor ingat akan adiknya yang masih kecil dibandung, membuat Edo semakin dekat dengan Loloy, bahkan setiap sore Edo sengaja datang untuk mengajak loloy jalan-jalan. Hape yang merupakan barang baru saat itu, sering diberikan pada Loloy sehingga keasikan merekam suara Loloy, bermain game, foto-foto. Hubungan mereka berdua bagaikan ayah dan anak. Tetapi Tuhan punya rencana lain, saat itu Edo mendapat tugas bersama regunya. Ketika ia akan berangkat Ia sengaja menyempatkan diri menjumpai Loloy, entah mengapa saat itu matanya nanar dan seolah berat untuk berangkat tugas. Mungkin ini adalah sebuah firasat bahwa itu adalah saat terakhir ia berjumpa dengan Loloy sahabat kecilnya. Karena keesokan harinya, seorang temannya datang dan memberi kabar bahwa Edo telah gugur, ia tertembak saat GAM menghadang saat operasi dihutan tepatnya selang 1 desa.

Merekam detik-detik, pastilah menemukan hari, lalu ada tahun di ujung. Menjejak waktu, adalah pasti yang tak ingkar pada uang, tak kejam pada orang. Karena matahari tidak pernah ingkar janji. Dia berlalu saja seperti pesawat dan kereta api, tapi tak pernah kembali. Namun, akan menjadi sebuah pelajaran berharga bagi siapapun. Lingkungan dan hala-hal ekstrim yang mengiringi kehidupan seorang anak manusia membuatnya semakin peka melahirkan sebuah firasat seorang anak kecil ternyata sangat tajam, Loloy seolah-olah tahu bahwa untuk kedua kalinya dia harus kehilangan sahabatnya. Entah mengapa hari itu, rentetan kalimat yang keluar dari bibirnya membuat ibu, mak cik, sepupu, dan kawan-kawan dari Edo tersentak. “Om Edo, kenapa tidak pelnah datang lagi?Loloy lihat Om Edo tadi malam dimimpi, Om Edo teltembak? Loloy sedih, loloy takut.”

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi didalam mimpi Loloy. Karena sejak itu dia sangat ketakutan. Kesedihan jelas tergambar diraut mukanya, kehilangan sahabat terdekatnya. Dari pengakuan salah satu prajurit, bahwa selama ini Edo sengaja tidak mau dikawal, bahkan tidak pernah membawa senjata ketika berkunjung kerumah. Hal ini dilakukan karena ia tahu Loloy sudah sangat trauma dengan suara peluru dan senjata. Yang lebih mengejutkan adalah, bahwa selama ini tidak ada yang tahu bahwa pernah beberapa malam Edo sangat merindukan Loloy dan rasa itu hadir ketika malam telah larut. Edo nekat sendirian datang kerumah tapi ia tidak mau membangunkan penghuni rumah, karena itu Edo memilih tidur dirumah bawah yang biasanya sebagai tempat untuk dapur. Disitu ada teras dan ia tidur beralaskan lantai hal ini sudah cukup membuatnya bisa melepaskan rasa rindunya terhadap Loloy. Mungkin hal inilah yang membuat antara Loloy dan Edo terjalin hubungan yang sangat erat.

Sejak kematian Edo, perlahan ada sebuah rasa kehilangan yang tercipta pada sosok loloy. Ia telah belajar bahwa perang itu sangat kejam. Perang telah mengubah ritme kehidupannya.Tiarap menjadi kata yang sering dia ucapkan ketika ada bunyi apa saja yang membuatnya ketakutan. Persis seperti ketakutan yang Loloy rasakan ketika ulang tahun pertamanya.

Tuhan tahu tapi menunggu, tepat 1 hari sebelum hari ulang tahun Loloy. Saat pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani Note Kesepakatan damai Helsinki 15 Agustus 2005. Tuhan telah mengabulkan doa Loloy, berharap ulang tahunnya tak dihiasi lagi dengan dentuman senjata, agar negeri ini aman. Agar tak ada lagi cerita bahwa perang telah membawa pergi sahabatnya. Agar bulan kelahirannya tidak membawa luka dan menjadi momok baginya. Agar Loloy percaya bahwa meskipun Agustus adalah bulan yang menorehkan peristiwa yang mencengangkan dunia karena dijatuhkan Bom dikota Hiroshima dan Nagasaki, bukan berarti bulan kelahirannya itu adalah “hantu” karena disisi lain bulan Agustus adalah bulan kemerdekaan negara Indonesia dan pada bulan ini detik-detik penentu perubahan status Aceh diumumkan.

Tapi tahun-tahun sesudahnya terus bergulir. Dia berlalu saja seperti pesawat dan kereta api, tak bisa kembali, hanya sedikit memberi tahu bahwa perang telah menyisakan banyak luka. Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah, yang ada hanyalah airmata kepedihan, kehilangan, pertikaian, pembunuhan. Bukan mengajarkan pesan moral yang berharga untuk generasi muda, justru membuat sejarah hitam dan ketakutan. Perdamaian itu masih sangat muda, masih meninggalkan sisa-sisa kepedihan. Luka yang telah tertoreh dengan sangat dalam, tentu belum bisa disembuhkan dalam waktu yang sangat cepat. Trauma dan ketakutan itu kerap hadir dalam relung-relung hati. Hanya kepada yang maha kuasa kita berserah, dan berharap bahwa kedamaian ini akan tetap abadi. Agar bukan tangisan yang tergambar dari raut muka bangsa ini, namun sebuah harapan cerah agar matahari esok akan bahagia menyambut senyum cerah bangsa ini.

NB: kisah ini aku dedikasikan untuk Loloy semoga senyum itu akan selalu menghiasi hari-harinya menjadi lebih berwarna. Jangan pernah bersedih lagi adik kecilku. Agustus tak selamanya kelabu sayang.

2 komentar:

entry mengatakan...

selamat ya udah menang kompetisi menulis untuk aceh :D

Recommended News mengatakan...

Selamat ya…dan teruskan blognya,

Salam kenal juga dari…, http://warungkopiplus.blogspot.com/